A. Model Humanistik
Model
humanistik dalam
pengelolaan kelas menekankan pada factor keunikan dan rasa dignity setiap
individu belajar. Orientasi pendekatannya lebih condong ke student-centered
daripada teacher-centered. Pada model ini, intervensi pembelajar sangat
dikurangi, bahkan lebih menitikberatkan pada partisispasi aktif pebelajar dalam
proses pembelajaran di kelas, system supervise, dan pengembangan internal
individu pebelajar. Model ini dikembangkan oleh Carl Rogers.
Menurut
Rogerrs & Freiberg (1994), tujuan dari model humanistic dalam pengelolaan
kelas adalah berkembangnya self-descipline (discipline diri) pebelajar.
Self-descipline diartikan sebagai pengetahuan dan pemahaman mengenai diri
sendiri dan kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan untuk menumbuhkan dan
mengembangkan diri sebagai seseorang. Tujuan inilah yang harus difasilitasi
oleh pembelajar sebagai fasilitator dan bukan manajer kelas. Sebagai
fasilitator, pembelajar dituntut dapat memberikan fasilitas yang mampu
mengakomodir seluruh potensi berkembang pebelajar, agar pebelajar dapat
terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
Seperti
halnya Maslow, Rogers juga meyakini bahwa seluruh pebelajar memiliki
kebututuhan dasar yang harus dipenuhi yaitu kebutuhan untuk tumbuh, berkembang,
dan menjadi. Konsepnya disebut dengan freedom to learn. Pada kondisi
ini, peran utama orang tua dan pembelajar adalah menyediakan lingkungan yang
mendukung dan memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan tersebut.
Sebagaimana
dijelaskan di atas, model humanistic lebih mengarah pada pendekatan
pembelajaran berpusat pada pebelajar (student-centered) daripada berpusat
pada pembelajar (teacher-centered). Rogers & Freiberg memberikan
rambu-rambu terhadap proses pengelolaan kelas, sebagaimana tabel berikut:
TEACHER-CENTERED
|
|
TEACHER’S
ROLE
|
INSTRUCTIONAL
TEACHNIQUES
|
Higly
directive
Teacher
directs students behavior and controls through external rewards and
punishments drill and practice
Semi-directive/semi-facilitative
Teacher
and students cooperative groups, designing the classroom and in guined
estabilishing its important activities contracts
Non-directive/fasilitative
Teacher
encourage students autonomy and self disclipine
|
Leturing
questioning demonstration
Discussion
discovery Role playing
Projects
inquiry self assesment
|
STUDENT-CENTERED
|
Source:
based on C.R. Rogers and H.J. Freiberg , Freedom to Learn (4 th ed) 1994. New
York: Merill.
Dari
tabel di atas diketahui bahwa, Rogers membagi gaya pengelolaan kelas oleh
pembelajar menjadi tiga macam, yaitu highly-directive, semidirective, dan
non-directive. Ketiga macam sosok pembelajar dapat diketahui pula melalui
teknik pembelajaran
yang digunakan dalam
proses pembelajaran seperti dalam kolom kanan. Semakin anak panah mengarah ke
atas, maka dapat diketahui bahwa pembelajar adalah bergaya highly directive,
sebaliknya semakin arah panah mengarah ke bawah, maka pembelajar memiliki gaya
non directive.
Selain
yang tersebut di atas, sosok pembelajar bergaya nondirective dicirikan dengan:
(1) reflektif (reflektive); maksudnya pembelajar menjadikan prilaku dan
komunikasi dengan pebelajar sebagai refleksi terhadap pembelajaran dan untuk
mendukung pebelajar dalam menggunakan daya kreasi pemikirannya sendiri selama
pembelajaran, (2) memberikan dukungan pada pebelajar (provide support for
leaners), (3) memotivasi kegiatan self assesment (encourage self assesment),
(4) mengembangkan rasa tanggungjawab pebelajar (developresponsibillity
students) dan (4) mendukung proses self-actualisasi (foster
self-actualization).
Michael
Marland (1975) juga mendeskripsikan beberapa strategi yang dapat dikembangkan
dalam pengelolaan kelas model humanistic, yang mencakup: (1) mempedulikan
pebelajar (caring for children); pembelajar harus menunjukkan sikap peduli
kepada para pebelajar, (2) membuat aturan (setting rules), (3) memberikan
penghargaan yang abash (giving legitimate praise), (4) menggunakan humor (using
humor), dan (5) merancang dan membentuk lingkungan belajar (shaping the
learning environment).
Beberapa
strategi dalam pengelolaan kelas model humanistik ini hanya dapat dimanfaatkan oleh pebelajar yang telah
mengakomodasi teori-teori belajar konstriktivis.
B. Model Demokratik
Seperti
halnya pada model humanistic, model demokratis juga sangat menghargai perbedaan
dan hak-hak individual pebelajar, dan bahkan menekankan pada pentingnya
kebebasan bersuara. Pada model ini, para pebelajar diberikan hak dan kesempatan
untuk berpartisispasi aktif dalam pengambilan keputusan mengelola kelas mereka.
Pendekatan pembelajaran yang diterapkan adalah relatively student-centered.
Kounin
(1970) menyatakan bahwa pembelajaran yang sukses dalam mencegah perilaku yang
meniympang dari para pebelajar adalah lebih penting daripada hanya melakukan
tindakan penanganan terhadap perilaku menyimpang pada saat perilaku tersebut
terjadi. Dalam peribahasa Indonesia dikenal dngan “Mencegah lebih baik daripada
mengobati”. Kounin mengidentifikasi beberapa tindakan pembelajardalam menangani
perilaku menyimpang para pebelajar, yaitu with-it-ness, the ripple effect,
overlapping, smoothness and momentum, dan maintaininhg focus.
Mith-it–ness;
dalam bahasa Indonesia dapat dipahami sebagai ‘ke-dengan-an’. Namun dalam
konteks pengelolaan kelas, With-it-ness dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk
menengarai dengan akurat perilaku menyimapang, sebelum perilaku disrupsi itu
dimulai.
The
Ripple Effect; adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh perilaku pembelajar yang
ditimbulkan oleh perilaku pembelajar terhadap perubahan perilaku pebelajar yang
dimaksudkan atau tidak dimaksudkan (dalam bahasa penulis disebut domino effect).
Overlapping;
kejadian berulang-ulang. Menurut Kounin, istilah overlapping adalah dua atau
lebih kejadian yang berlangsung di dalam kelas secara simultan dan pada waktu
bersamaan.
Smoothness
dan Momentum; pembelajar yang sukses adalah pembelajar yang dapat
mempertahankan pembelajaran berlangsung secra kondusif dan lancar. Smoothness
adalah tidak adanya perilaku yang mengiterupsi kelancaran kegiatan. Momentum
adalah tidak adanya perilaku yang memperlambat jalannya pelajaran.
Maintaining
Focus; factor terpenting dalam pengelolaan kelas bukanlah banyaknya intervensi
pembelajar terhadap kejadian yang berlangsung, melainkan bagaimana
mempertahankan para pebelajar tetap focus pada proses belajar itu sendiri.
Ada
3 (tiga) cara bagi pembelajar yang dapat digunakan untuk mempertahankan dan
memelihara focus pebelajar dalam proses pembelajaran, yaitu (1) mengembangkan
cara-cara yang dapat membuat para pebelajar memiliki sikap tanggung jawab, (2)
menggunakan kelompok, dan (3) memformat kelas atau materi pelajaran yang minim
dengan kebosanan.
C. Model Behavioristik
Model behavioristik pada
penglolaan kelas menekankan pada peran vital pembelajar dan arahan atau
instruksi dari pembelajar. Model ini menganjurkan adanya atau diperlakukanya
konsekwensi-konsekwensi perilaku dalam usaha meminimalisasi masalah dikelas,
disamping menggunakan perilaku-perilaku tersebut untuk mengoreksi jika perilaku
menyimpang tersebut diulang atau terjadi kembali.
Titik tekan model
behavioristik adalah pada modifikasi
perilaku yang dianggap sebagai aspek korrektif. Pada asapek korrekif
ini,pemnggunaan reinfcenment (penguatan) dan punishment (hukuman)
merupakan element kunci keberhasilan.
Mode behavioristik dalam penglolaan kelas dijalankan secara kaku
dan terstandar, jika ada pembelajar
melakukan kesalahan seperti : berbicara keras, atau lari-lari, maka mereka akan
segera ditindak dengan hukuman melalui pengurangan point-point yang didapatkan
sebelumnya.
Tokoh dalam
penglolaan kelas model behavioristik yang lain adalah Lee Canter (1992) yang
terkenal dengan konsep ‘assertive discipline’ . dalam csnter, pembelajar
memiliki tiga hak tanggung jawab dalam melaksanakan penglolaan kelas.
D.
Model Kostruktivis
Model ini merupakan terjemahan dari konsep Deporter (2000) yaitu
mengorekestrasi lingkungan sebagai pancaran dari aliran konstruktivis, tentunya
model ini lebih berpihak pada pendekatan pembelajaran Student-centered
seperti pada model humanistic dan demokratik.
Penggunaan teori konstruktivisme dalam proses pembelajaran dapat di
lihat melalui aktivitas-aktivitas berikut :
1.
Pebelajar berpeluang mengemukkakan pandanganya tentang suatu konsep
2.
Pebelajar berpeluang untuk bertukar persepsi antara satu sama lain
3.
Pebelajar menghormati pandangan alternatif teman-teman mereka
4.
Semua pandangan pebelajar dihormati dan tidak dipandang rendah
5.
Pebelajar menyediakan alat/bahan yang sesuai
6.
Pembelajaran berpusatkan pada
pebelajar
Berkaitan dengan penglolaan kelas, pembelajar yang berkonstruktivistik
akan mengedepankan keragaman melalui penataan lingkungan belajar yang bebas
(Degeng, 2000). Secara ebih terperinci Deporter (2000) menjelaskan tata
penglolaan lingkungan belajar (penglolaan kelas). Menurutnya, prinsip utama
yang perlu dilakukan pembelajar dalam mengelola lingkungan belajar adalah
pandangan sekeliling, dan kaitan mata-otak.
Demikian keterkaitan mata dengan otak. Mata memiliki rantang
persepsi yang lebar.mata merupakan alat belajar tak sadar yang sangat ampuh,
terutama karena belajar terejadi secara saar dan tidak sadar.
Berdasarkan paparan tersebut, maka para pembelajar perlu melakukan
aktifitas yang mendorong keterkaitan antara mata engan otak dalam penglolaan
kelasnya, melalui : (1) pemasangan poster icon, poster afirmasi, kreasi yang
berwarna warni. (2) menggunakan alat bantu yang mewakili gagasan tertentu dalam
materi yang dipelajari, (3) pengaruh bangku yang bervariasi, (4) pemanfaatan
aroma, (5) penggunaan musik.
Dengan demikian, jelas bahwa lingkungan belajar mempengaruhi
kemampuan belajar untuk brfokus dan menyerap informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Djamarah, Syaiful
Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar.
Rineka Cipta, Jakarta.
Imam, Azhar. 2013. Pengelolaan
Kelas dari Teori ke praktek. Yogyakarta. Insyira.
Online Casinos with Baccarat - Free Coins
BalasHapusA baccarat or roulette table is a variation choegocasino of a casino game of chance. It is febcasino played on the board, หารายได้เสริม in which players pick a dealer to win.