Manajemen konflik
merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam
suatu konflik. Manajemen konflik
termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan
pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar
dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi.
Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang
diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini
karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan
terhadap pihak ketiga.
Dalam sebuah organisai, pekerjaan individual maupun
sekelompok pekerja saling terkait dengan pekerjaan pihak-pihak lain. Ketika
suatu konflik muncul di dalam sebuah organisasi, penyebabnya selalu
diidentifikasikan sebagai komunikasi yang kurang baik. Demikian pula ketika
suatu keputusan yang buruk dihasilkan, komunikasi yang tidak efektif selalu
menjadi kambing hitam.
Para manajer bergantung kepada ketrampilan
berkomunikasi mereka dalam memperoleh informasi yang diperlukan dalam proses
perumusan keputusan, demikian pula untuk mensosialisasikan hasil keputusan
tersebut kepada pihak-pihak lain. Riset membuktikan bahwa manajer menghabiskan
waktu sebanyak 80 persen dari total waktu kerjanya untuk interaksi verbal
dengan orang lain.
Ketrampilan memproses informasi yang dituntut dari
seorang manajer termasuk kemampuan untuk mengirim dan menerima informasi ketika
bertindak sebagai monitor, juru bicara (Spekesperson), maupun penyusun
strategi.
Sudah menjadi tuntutan alam dalam posisi dan kewajiban
sebagai manajer untuk selalu dihadapkan pada konflik. Salah satu titik pening
dari tugas seorang manajer dalam melaksanakan komunikasi yang efektif didalam
organisasi bisnis yang ditanganinya adalah memastikan bahwa arti yang dimaksud
dalam instruksi yang diberikan akan sama dengan arti yang diterima olh penerima
instruksi demikian pula sebaliknya (the intended meaning of the same). Hal ini
harus menjadi tujuan seorang manejer dalam semua komunikasi yag dilakukannya.
Dalam
hal me-manage bawahannya, manajer selalu dihadapkan pada penentuan tuntuan
pekerjaan dari setiap jabatan yang dipegang dan ditangani oleh bawahannya (role
expectaties) dan konflik dapat menimbulkan ketegangan yang akan berefleksi
buruk kepada sikap kerja dan perilaku individual. Manajer yang baik akan
berusaha untuk meminimasasi konsukensi negatif ini dengan cara membuka dan
mempertahankan komunikasi dua arah yang efektif kepada setiap anggota
bawahannya. Disinilah manajer dituntut untuk memenuhi sisi lain dari
ketrampilan interpersonalnya, yaitu kemampuan untuk menangani dan menyelesaikan
konflik.